Kau dan aku hanyalah sisa-sisa perasaan. Dari percakapan bermula hingga akal lupa di mana kita berada.
Setelah sekian lama mengalami ilusi, kita mencuba mengerti: memeluk hati cukuplah sepenuhnya.
Masih ada hari-hari kita bisa dengarkan desah daun basah.
Helai-helai rumput tersipu, hujan bernyanyi sepi, mungkinkah terlalu yakin pada sendiri. Aku ragu, bisakah sejenak saja kita berbeza sapa. Aku takut rasa kalut mengusik kesendirian kita. Sebab inilah kita yang memilih ilusi, dibanding sendiri sebagai sepi.
Sebab aku belum mendefinisikan rindu, maka biarlah tak ada sudut pada percakapan kita. Birkan begitu saja.
Bilapun aku harus berhenti mencintaimu dalam detik dan detak. Biarlah aku pergi, meninggalkanmu pelangi dan senja. Langit merah mega kepak-kepak malaikat memetik gitar sebagai pengiring pergiku. Sebab pergi itu pasti, anggaplah itu caraku mencintaimu. Mari kita mengenal rindu.
Kau pun beranjak, begitu pula aku merangkai jejak. Melepaskan hal-hal tak masuk akal, seperti selalu ada dan bersama. Seolah sudah cukup kita larut. Kuntum-kuntum kesepian yang dulu dipetik, kini mulai tumbuh dan dibiarkan merekah. Kita pun mengenal sepi diantara wewangi perkara hati.
Meski telah aku tuliskan di kulit hujan, kesepian adalah sudut terujung dari nestapa.
Tapilah hidup tanpa sepipun, kurasakan jua, layaknya luka di tanah syuga : tak sempat kurasakan sungai susunya.
Sejak rambutmu terurai melambai-lambai pergi, menyentuh wajah langit, kesendirian mulai menari-nari selimutkan sepi. Aku berjalan-jalan dengan dada menyala-nyala, bertabuh tabuh mengusir sekawanan merpati. Akhirnya kita sudah pun berjarak. Sebab kita percaya, sejauh manakah rasa setia terkecuali ada jarak mengepak. Sepeti apakah kau menjaga namaku di ruang tanpa diriku.
Dan biarlah jarak mengajarkan cinta. Dengan siapa kita mendapatkan nama. Bukankah dulu begitu kita bisa bersama. Saat tak saling sapa kerana jarak, sampai kini kau melekat di hatiku tanpa sekat.
Apapun itu, dari jarak ini aku mulai mengenal rindu. Rasanya yang sendu membuatku penuh rasa ingin menunggu. Meski harusku fahami, rinduku ini, rindu sembilu, seperti layang-layang melayang lepas dari pemiliknya, terhempas angin tak berarah. Entahlah sampai di mana aku. Adakah yang menyentuh benangku, jatuh pada basah tanah, atau malah tersangkut pada ranting-ranting kering.
Tapi itulah rinduku...
Aku merindumu pada jarak-jarak yang tak mudah ditebak, meski harus tersentak pada waktu yang tak berdetak. Semoga kau tak beranjak dari namaku.
Aku menyintaimu diantara jarak-jarak yang terselip jejak kita dahulu, walau terhentak tempat yang tak terungkap. Semoga kau masih sediakan rumah untukku di hatimu...
~ ijonk muhammad.